Bencana Pasaman Barat Belum Selesai, Tambang Emas Ilegal Kembali Menjarah Alam
Di Atas Puing Bencana Pasaman Barat, PETI Beroperasi Terang-Terangan
Pasca Bencana Pasaman Barat, Tambang Ilegal Menantang Hukum
Bencana Pasaman Barat Masih Membekas, Alam Kembali Dihabisi PETI
Banjir dan Galodo Pasaman Barat Belum Reda, Tambang Emas Ilegal Sudah Jalan Lagi
Bencana Pasaman Barat Jadi Bukti, PETI Tak Pernah Benar-Benar Ditindak
Saat Korban Bencana Pasaman Barat Berbenah, PETI Justru Berpesta
Pasaman Barat Pasca Bencana: Tambang Emas Ilegal Beroperasi Tanpa Rasa Takut
Bencana Pasaman Barat Baru Berlalu, PETI Kembali Merusak Sungai dan Hutan
Pasca Bencana Pasaman Barat, Kejahatan Lingkungan Kembali Dibiarkan
PASAMAN BARAT | Bencana galodo dan banjir bandang yang meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Kabupaten Pasaman Barat seharusnya menjadi titik balik kesadaran ekologis. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Ketika lumpur belum sepenuhnya kering dan trauma warga belum pulih, aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali menggeliat, seolah menantang hukum dan mengabaikan penderitaan rakyat, Senin (29/12/2025).
Alih-alih fokus pada pemulihan lingkungan dan keselamatan masyarakat, Pasaman Barat kembali dihadapkan pada praktik eksploitasi sumber daya alam secara brutal dan ilegal. PETI bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan lingkungan yang berulang, sistematis, dan berpotensi memicu bencana susulan.
Hasil penelusuran awak media serta keterangan masyarakat mengungkap bahwa aktivitas tambang emas ilegal berlangsung secara terbuka. Suara mesin dompeng terdengar hampir setiap hari, aliran sungai kembali keruh, dan jejak pengerukan tampak jelas di sejumlah titik yang sebelumnya terdampak banjir dan galodo.
Warga menyebut beberapa lokasi yang diduga kuat menjadi pusat aktivitas PETI, di antaranya Jorong Rimba Jandung, Nagari Lingkuang Aur Baru, Kecamatan Pasaman. Aktivitas serupa juga terpantau di wilayah Astra/Muara Kiawai, tepatnya di sekitar area izin quarry CV Fadilla, Jorong Kartini, Nagari Muara Kiawai, Kecamatan Gunung Tuleh.
Ironisnya, kegiatan ilegal tersebut disebut berjalan tanpa hambatan berarti. Alat berat keluar masuk, pasokan solar lancar, dan aktivitas tambang berlangsung seolah memiliki perlindungan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan serius di tengah masyarakat: di mana negara ketika alam kembali dirusak? Sulit diterima akal sehat publik jika aktivitas tambang ilegal berskala besar dapat berlangsung lama tanpa sepengetahuan aparat penegak hukum.
“Ini bukan kerja sembunyi-sembunyi. Alat berat keluar masuk, sungai rusak. Kalau dibilang tidak tahu, itu mustahil,” ujar seorang warga dengan nada geram.
Ketiadaan tindakan penegakan hukum yang terlihat di lapangan semakin memperkuat kecurigaan publik. Aparat yang seharusnya menjadi penjaga hukum dan lingkungan dinilai belum menunjukkan kehadiran nyata.
Padahal, regulasi hukum sangat tegas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa setiap aktivitas penambangan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana. Pasal 158 mengancam pelaku PETI dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Dari sisi lingkungan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur sanksi berat. Pasal 98 dan 99 mengancam pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar bagi pelaku perusakan lingkungan yang membahayakan keselamatan manusia dan alam.
Lebih jauh, apabila terbukti terdapat pembiaran atau perlindungan dari oknum aparat, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang serta pelanggaran kode etik profesi, yang berimplikasi pada sanksi etik hingga pidana.
Bagi masyarakat Pasaman Barat, PETI bukan hanya soal emas dan keuntungan segelintir orang. Ia adalah ancaman nyata terhadap sumber air bersih, lahan pertanian, keselamatan permukiman, serta masa depan generasi berikutnya. Bencana yang baru saja terjadi menjadi bukti betapa mahalnya harga yang harus dibayar akibat kerusakan lingkungan.
“Kami sudah merasakan banjir dan galodo. Jangan tunggu korban berikutnya baru aparat bergerak,” ungkap warga lainnya.
Desakan agar aparat penegak hukum bertindak tegas kini semakin menguat. Penindakan terhadap PETI dinilai harus dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan menyentuh aktor utama, bukan sekadar simbolik di lapangan.
Pasca bencana seharusnya menjadi momentum koreksi, bukan pengulangan kesalahan. Jika PETI terus dibiarkan tumbuh di atas puing penderitaan rakyat, maka yang runtuh bukan hanya alam Pasaman Barat, tetapi juga wibawa hukum dan kehadiran negara.
Media menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini. Kejahatan lingkungan pasca bencana adalah peringatan keras yang tidak boleh diabaikan.
Catatan Redaksi:
Pemberitaan ini disusun berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan keterangan masyarakat. Redaksi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah serta membuka ruang hak jawab dan klarifikasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
TIM
